Senin, 10 Desember 2012

TANGISAN di “KAMAR PAKSA”

Terus saja tertawakan kami, terus saja sepelekan  kami
Karna kami melawan penjajahan atas manusia dengan tangisan
Kami melawan senjata dengan tangisan,
Kami melawan  manusia-manusia raksasa yang haus uang dengan tangisan

Hey Jangan salah, kami kuat dan bertahan dalam kesakitan
Kamu tahu, setiap hari kami diserang, diserang terus
Tanpa pernah bertanya, mereka memberi kami “Kamar Paksa”
Kamar yang disana hanya boleh menurut tanpa pertanyaan

Kami disebut udik jika suka menanam dan kerbau
Kami disebut udik jika tak suka suara deru mesin
Kamar tempat kami hanya bisa mengurus anak-anak, dan melayani laki-laki
Kamar tempat kami disalahkan, diadili dan dihujat jika tubuh kami diperkosa
Kami disebut jalang, tidak bermoral dan asusila

Di “Kamar paksa” kami dimarahi jika tidak menikah
Kami dimarahi pula jika pasangan kami ternyata dikemudian hari suka pukul
Di “Kamar Paksa” Kami juga harus bekerja keras jika keluarga kami serba kekurangan
Dalam waktu yang sama semua jadi tugas kami, kerja, ngurus anak masak, layani suami

Di”kamar paksa” kami juga harus cantik dan lembut, baju kami diukur sesuai norma apa tidak
Otak kami yang butuh pendidikan tak pernah dianggap penting di “Ruang Paksa”
Ya, kami sering menangis, kami disebut makhluk cengeng, makhluk lemah

Di beberapa kamar lain kami dan anak-anak kami dibunuh dengan bom dan rudal
Kami menangis tapi kami tidak pernah mati, kami bangkit setelah mati walau wajahku tak sama lagi,
Mereka tidak pernah tahu kalau Tangisan kami menantang
Tangisan kami  membangkitkan kekuatan alam raya
Kamu tahu siapa kami, kami adalah kupu-kupu



Aku ingin


Aku ingin menanam tumbuhan yang rindang

Aku ingin menanam buah-buahan

Aku ingin menanam padi dan umbi-umbian

Dan tidak lagi memakai pupuk buatan pabrik 

Aku ingin punya sepetak tanah tak perlu luas-luas

Aku ingin makan hasil tanamanku sendiri 

Biar tidak harus belanja di Supermarket

Aku ingin memberi

Aku ingin semua orang berbagi dan tidak serakah

Aku ingin bisa menghadapi keinginanku yang banyak

Jangan marahi aku karna keinginanku banyak

Biarkan saja karna ingin-inginku baik

Atau bantulah aku degan inginku


Rabu, 24 Oktober 2012

Tentang Jilbab

Dewasa ini, ada dua kosa kata dipakai untuk makna sama, hijab dan jilbab. Keduanya adalah pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuhnya. Al-qur'an menyebut kata hijab untuk arti tirai, pembatas, penghalang. Yakni, sesuatu yang menghalangi, membatasi, memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan, sehingga satu sama lain tidak saling melihat atau memandang. Alqur'an menyatakan : "Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka."(al-Ahzab, 53). Hijab dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada dalam rumah Nabi saw, yang berfungsi sebagai sarana menghalangi atau memisahkan tempat kaum laki-laki dari kaum perempuan agar mereka tidak saling memandang. Secara tekstual (lahiriah), ayat ini digunakan para ulama kemudian untuk membuat hijab untuk umat. 

Sabtu, 22 September 2012

Cerita Perempuan di Desa Tembakau

oleh: Afidah

9 November 2011
Langit mendung dan udara tidak terlalu panas, dengan mengendarai sepeda motor aku berangkat dari Kota Semarang menuju sebuah Desa di Kabupaten Kendal, sekitar pukul  11.00 WIB aku sampai di Desa Rowobranten tepatnya di Dusun Rowowaking. Desa Rowobranten adalah desa di Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal yang biasanya penuh dengan tembakau pada saat musim tiba dan hampir seluruh penduduknya termasuk perempuan bekerja di Sawah baik sebagai petani tembakau maupun sebagai buruh tani tembakau. Namun dibalik wajah Desa yang lekat dengan kegiatan pertanian tersimpan satu fenomena, sebagian besar penduduk desa Rowobranten terutama perempuan bekerja sebagai Buruh Migrant.  Selama  Setahun sejak Juli 2009 aku begitu rajin mengunjungi Desa ini untuk menjalankan Feminist Participatory action research/ FPAR hingga menjadi sejarah yang begitu melekat di pikiranku, suatu hari kemudian ku ketahui dari para perempuan desa bahwa trend bekerja sebagai buruh migrant telah berlangsung sejak tahun 1990.

Mencatat Kebaikanmu

Tulisan kedua lanjutan dari “Bersama Suami Penyabar”

Dalam cerita sebelumnya aku menceritakan tentang pembagian kerja domestik bersama suamiku “Asep”, aku memang ingin memberi apresiasi pada usaha-usahanya untuk menjadi lelaki yang berbeda atau sekarang ada yang menyebutnya lelaki baru. Walaupun masih banyak yang harus ditempuh untuk membuktikan konsistensinysa. Dan kesabarannya yang masih tetap setia menemani hubungan kami. Akupun belum berubah, karakterku yang masih terus berteman dengan kemarahan disela-sela hidup penuh kasih sayang yang sedang kurajut. Dialog yang sering menemukan kesepahaman namun kontradiksi besar tak kalah sering menganga dan sangat menantang.

Jejak diri, dia dan Mereka


oleh: afidah

Sekilat sakit, sempat hentikan langkah,
ada yang menyambar pikiran, tapi orang sebut menyayat hati, remuk sesaat
senyum saja lagi

Begitu berkeleriaran diluar sana kedinginan dan kelaparan
Diri berada dipenuhi kehangatan
... Berdatangan dari segala arah penjuru
ijinkah merintih sesaat
tidak akan berlama-lama
Tidak pernah lupa persoalan besar
di Luar diri terus menderu

Sempat hanyut pada kebencian
kebencian pada teman yang setia dengan dogma
Tak bisa sama dengan dia
Ruang hampa hanya ada di pikiran yang tumpul
Mari bersama segera ke Ruang Tumbuh

Bersama Suami Penyabar


 Secara tidak sengaja ketika sedang melihat-lihat facebook, saya membaca sebuah catatan berjudul “Ayahku Hebat” karya Siti Aminah atau Mba Ami (lihat http://www.facebook.com/notes/siti-aminah/ayahku-hebat-/10150207303594277), dengan ringan Mba Ami dalam catatannya mengungkap indahnya relasi setara dalam keluarga, dan itu menjadi inspirasi bagiku untuk menulis tentang suamiku "Asep Mufti" yang saat ini menjalani proses dialog denganku tentang feminisme dan peran-peran gender, kemudian kami mempraktekkan dalam sebuah keluarga kecil yang masih sangat baru dan belum memilki anak, pastinya perjalanan masih sangat panjang.

Ya, kami sedang mencoba menerapkan budaya baru dalam pola relasi kami dengan prinsip setara, tidak saling mendominasi dan terus bekerjasama. Pastinya dia belum sepenuhnya menjadi laki-laki baru dengan 10 kriteria yang disebutkan Gadis Arivia -- seperti yang diuraikan dalam catatan “Ayahku Hebat” --, tapi dengan sangat sabar dia menjalani proses itu dengan terus belajar teorinya sedikit demi sedikit dan mempraktekannya. Salah satu prinsip yang sejak awal sudah disepakati adalah anti poligami.

Prakteknya menurut pengalaman kami juga sangat sederhana, karena dialog dan diskusi sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum Kami memutuskan menikah. Tibalah saatnya kami mempraktekannya, tepatnya sejak bulan April 2011. Aku ingin menyebutnya sebagai Sang suami sabar dan peduli, kenapa aku menyebutnya sebagai suami yang sabar karna dia tidak pernah marah dan selalu tenang menghadapiku yang hobi ngomel-ngomel. Oiya, sebelum terlalu jauh saya menyimpulkan tentang suamiku dan mungkin sangat subjektif, karena itu saya ceritakan prakteknya saja dan bisa diambil kesimpulan dari refleksi sederhana ini.

Setelah waktu cuti menikah berakhir, secara otomatis kami bersiap-siap menjalani rutinitas masing-masing seperti dahulu sebelum menikah, namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda yaitu tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan, tidur bersama dalam satu kamar dan hampir setiap hari menjalani aktivitas bersama kecuali pada saat bekerja. Kami bekerja di 2 lembaga yang berbeda namun memiliki kedekatan sejarah, walaupun mungkin ada kontradiksi diantara keduanya, seperti halnya kami berdua yang juga penuh kontradiksi. Bagaimanapun kedua lembaga tersebut membuat kami bertemu, berpacaran dan memutuskan menikah.

Aku dan dia memiliki ritme kerja yang berbeda terkait jam kerja, suamiku lebih mengikuti ritme kerja dan jadwalku. Setiap pagi saya harus membangunkannya, kalau tidak dia akan bangun jam 8 pagi dan itu sangat terlambat bagiku untuk memulai aktivitas. Dengan cukup sulit setiap hari dia bangun pagi dan sejauh ini tidak pernah mengeluh dengan kebiasaan baru ini. Ada kalanya aku atau dia menyempatkan memasak atau membuat menu-menu sederhana untuk sarapan atau kami putuskan untuk langsung berangkat dan mengisi perut di luar rumah saja.

Tidak ada keharusan mengerjakan pekerjaan domestik buat aku ataupun dia di pagi hari, yang menjadi prioritas adalah mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja. Di rumah kontrakan kami tinggal berdua. Setiap hari rumah masih cukup rapi dan bersih hanya dengan disapu suamiku di pagi hari. Dia tidak pernah mengharuskanku mengerjakan apapun. Biasanya membakar roti atau membuat nasi goreng menjadi inisiatifku untuk menikmati sarapan berdua di rumah. Dia lebih suka aku yang memasak karena kalau dia yang memasak hasilnya tidak enak dan faktanya memang begitu karena itu ketika aku sedang memasak dia selalu menemaniku hanya untuk belajar bagaimana cara memasak. Dia juga biasanya membantuku mencuci piring.

Di akhir pekan kita biasakan lari pagi, lokasi yang kami pilih biasanya di Mugas, stadion Jatidiri atau di dekat rumah saja. Kebiasaan ini sering kami lakukan bersama teman-teman. Biasanya setelah itu kami  makan bersama di luar, kemudian langsung pulang atau mampir toko buku untuk melihat-lihat barangkali ada buku menarik yang bisa kami beli. Rutinitas ini kadang tidak dilakukan, karena sesekali di akhir minggu dia menemaniku mengunjungi orang tuaku yang tinggal di Pati. Sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara yang tinggal terdekat dengan orang tua -- domisili 2 kakakku di Pandeglang dan Bekasi – aku dan suami selalu menyempatkan menengok orang tuaku yang hanya tinggal berdua saja di rumah.

Setelah aktifitas lari pagi di akhir pekan, biasanya kami beristirahat sejenak dan duduk-duduk di rumah kontrakan, kemudian tiba saatnya membagi pekerjaan domestik yang tertunda selama hari kerja yaitu mencuci, menyetrika, mengepel dan sebagainya. Kami berbagi tugas dan memilih sesuai keinginan, biadanya aku mencuci dan dia menyetrika. Seperti biasa kalau saya memasak dia akan menemani untuk belajar atau mengerjakan yang lain seperti mengepel, mencuci motor atau menyapu halaman rumah. Hal ini terus berlangsung selama usia pernikahan dua bulan.
Di waktu-waktu luang dia banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga suka membaca buku, tapi dia lebih tahan lama berkutat dengan buku. Ketika sudah bosan dengan buku gitar diambilnya dan dinyanyikanlah beberapa lagu kesukaanku atau kesukaannya. Mulai dari lagu romantis sampai lagu-lagu kritik pedas.

Ketika berdua saja diwaktu senggang, seperti dimalam hari ketika pulang kerja atau saat hari libur kami bercanda saling mengejek, tertawa berdua dan Romansapun tercipta.  Kami tertawa saling melihat, bercumbu, suka sekali dia mengecup bibirku atau pipiku, aku juga membalasnya dengan kecupan-kecupanku kemudian yang terjadi kami saling memandang,  bersepakat pergi kekamar peraduan kami.

Cerita-cerita di atas mungkin terkesan sangat biasa dan kami yakin sebenarnya tidak hanya pasangan baru seperti kami yang ingin mempraktekkan hal serupa. Semua menjadi rutinitas begitu saja tanpa siapa mengharuskan mengerjakan apa dan siapa berperan sebagai apa. Barangkali itulah praktek sederhana kami dalam berupaya mempraktekan keadilan peran gender dalam  keluarga, tidak hanya memperdebatkannya dengan sengit. Namun, berbicara keadilan dan kesetaraan gender tidak cukup dengan praktek dalam pembagian kerja-kerja domestik saja, ada hal lain yang juga sangat penting yaitu tentang siapa yang memberi kontrol dalam pengambilan keputusan – keputusan penting dalam keluarga terutama yang menyangkut kepentingan masing-masing sehingga tidak pernah ada unsur keterpaksaan. Semoga setelah ini kami bisa berefleksi lagi melalui tulisan berikutnya untuk memperdalam teori dan praktek tentang kesetaraan dalam keluarga.

----------------------------------
Ditulis oleh Afidah (didiskusikan dengan Asep Mufti sebelum publikasi) Pasangan suami-istri yang sedang terus belajar ingin menjadi......
Top of Form
Bottom of Form