Sabtu, 22 September 2012

Cerita Perempuan di Desa Tembakau

oleh: Afidah

9 November 2011
Langit mendung dan udara tidak terlalu panas, dengan mengendarai sepeda motor aku berangkat dari Kota Semarang menuju sebuah Desa di Kabupaten Kendal, sekitar pukul  11.00 WIB aku sampai di Desa Rowobranten tepatnya di Dusun Rowowaking. Desa Rowobranten adalah desa di Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal yang biasanya penuh dengan tembakau pada saat musim tiba dan hampir seluruh penduduknya termasuk perempuan bekerja di Sawah baik sebagai petani tembakau maupun sebagai buruh tani tembakau. Namun dibalik wajah Desa yang lekat dengan kegiatan pertanian tersimpan satu fenomena, sebagian besar penduduk desa Rowobranten terutama perempuan bekerja sebagai Buruh Migrant.  Selama  Setahun sejak Juli 2009 aku begitu rajin mengunjungi Desa ini untuk menjalankan Feminist Participatory action research/ FPAR hingga menjadi sejarah yang begitu melekat di pikiranku, suatu hari kemudian ku ketahui dari para perempuan desa bahwa trend bekerja sebagai buruh migrant telah berlangsung sejak tahun 1990.

Mencatat Kebaikanmu

Tulisan kedua lanjutan dari “Bersama Suami Penyabar”

Dalam cerita sebelumnya aku menceritakan tentang pembagian kerja domestik bersama suamiku “Asep”, aku memang ingin memberi apresiasi pada usaha-usahanya untuk menjadi lelaki yang berbeda atau sekarang ada yang menyebutnya lelaki baru. Walaupun masih banyak yang harus ditempuh untuk membuktikan konsistensinysa. Dan kesabarannya yang masih tetap setia menemani hubungan kami. Akupun belum berubah, karakterku yang masih terus berteman dengan kemarahan disela-sela hidup penuh kasih sayang yang sedang kurajut. Dialog yang sering menemukan kesepahaman namun kontradiksi besar tak kalah sering menganga dan sangat menantang.

Jejak diri, dia dan Mereka


oleh: afidah

Sekilat sakit, sempat hentikan langkah,
ada yang menyambar pikiran, tapi orang sebut menyayat hati, remuk sesaat
senyum saja lagi

Begitu berkeleriaran diluar sana kedinginan dan kelaparan
Diri berada dipenuhi kehangatan
... Berdatangan dari segala arah penjuru
ijinkah merintih sesaat
tidak akan berlama-lama
Tidak pernah lupa persoalan besar
di Luar diri terus menderu

Sempat hanyut pada kebencian
kebencian pada teman yang setia dengan dogma
Tak bisa sama dengan dia
Ruang hampa hanya ada di pikiran yang tumpul
Mari bersama segera ke Ruang Tumbuh

Bersama Suami Penyabar


 Secara tidak sengaja ketika sedang melihat-lihat facebook, saya membaca sebuah catatan berjudul “Ayahku Hebat” karya Siti Aminah atau Mba Ami (lihat http://www.facebook.com/notes/siti-aminah/ayahku-hebat-/10150207303594277), dengan ringan Mba Ami dalam catatannya mengungkap indahnya relasi setara dalam keluarga, dan itu menjadi inspirasi bagiku untuk menulis tentang suamiku "Asep Mufti" yang saat ini menjalani proses dialog denganku tentang feminisme dan peran-peran gender, kemudian kami mempraktekkan dalam sebuah keluarga kecil yang masih sangat baru dan belum memilki anak, pastinya perjalanan masih sangat panjang.

Ya, kami sedang mencoba menerapkan budaya baru dalam pola relasi kami dengan prinsip setara, tidak saling mendominasi dan terus bekerjasama. Pastinya dia belum sepenuhnya menjadi laki-laki baru dengan 10 kriteria yang disebutkan Gadis Arivia -- seperti yang diuraikan dalam catatan “Ayahku Hebat” --, tapi dengan sangat sabar dia menjalani proses itu dengan terus belajar teorinya sedikit demi sedikit dan mempraktekannya. Salah satu prinsip yang sejak awal sudah disepakati adalah anti poligami.

Prakteknya menurut pengalaman kami juga sangat sederhana, karena dialog dan diskusi sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum Kami memutuskan menikah. Tibalah saatnya kami mempraktekannya, tepatnya sejak bulan April 2011. Aku ingin menyebutnya sebagai Sang suami sabar dan peduli, kenapa aku menyebutnya sebagai suami yang sabar karna dia tidak pernah marah dan selalu tenang menghadapiku yang hobi ngomel-ngomel. Oiya, sebelum terlalu jauh saya menyimpulkan tentang suamiku dan mungkin sangat subjektif, karena itu saya ceritakan prakteknya saja dan bisa diambil kesimpulan dari refleksi sederhana ini.

Setelah waktu cuti menikah berakhir, secara otomatis kami bersiap-siap menjalani rutinitas masing-masing seperti dahulu sebelum menikah, namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda yaitu tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan, tidur bersama dalam satu kamar dan hampir setiap hari menjalani aktivitas bersama kecuali pada saat bekerja. Kami bekerja di 2 lembaga yang berbeda namun memiliki kedekatan sejarah, walaupun mungkin ada kontradiksi diantara keduanya, seperti halnya kami berdua yang juga penuh kontradiksi. Bagaimanapun kedua lembaga tersebut membuat kami bertemu, berpacaran dan memutuskan menikah.

Aku dan dia memiliki ritme kerja yang berbeda terkait jam kerja, suamiku lebih mengikuti ritme kerja dan jadwalku. Setiap pagi saya harus membangunkannya, kalau tidak dia akan bangun jam 8 pagi dan itu sangat terlambat bagiku untuk memulai aktivitas. Dengan cukup sulit setiap hari dia bangun pagi dan sejauh ini tidak pernah mengeluh dengan kebiasaan baru ini. Ada kalanya aku atau dia menyempatkan memasak atau membuat menu-menu sederhana untuk sarapan atau kami putuskan untuk langsung berangkat dan mengisi perut di luar rumah saja.

Tidak ada keharusan mengerjakan pekerjaan domestik buat aku ataupun dia di pagi hari, yang menjadi prioritas adalah mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja. Di rumah kontrakan kami tinggal berdua. Setiap hari rumah masih cukup rapi dan bersih hanya dengan disapu suamiku di pagi hari. Dia tidak pernah mengharuskanku mengerjakan apapun. Biasanya membakar roti atau membuat nasi goreng menjadi inisiatifku untuk menikmati sarapan berdua di rumah. Dia lebih suka aku yang memasak karena kalau dia yang memasak hasilnya tidak enak dan faktanya memang begitu karena itu ketika aku sedang memasak dia selalu menemaniku hanya untuk belajar bagaimana cara memasak. Dia juga biasanya membantuku mencuci piring.

Di akhir pekan kita biasakan lari pagi, lokasi yang kami pilih biasanya di Mugas, stadion Jatidiri atau di dekat rumah saja. Kebiasaan ini sering kami lakukan bersama teman-teman. Biasanya setelah itu kami  makan bersama di luar, kemudian langsung pulang atau mampir toko buku untuk melihat-lihat barangkali ada buku menarik yang bisa kami beli. Rutinitas ini kadang tidak dilakukan, karena sesekali di akhir minggu dia menemaniku mengunjungi orang tuaku yang tinggal di Pati. Sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara yang tinggal terdekat dengan orang tua -- domisili 2 kakakku di Pandeglang dan Bekasi – aku dan suami selalu menyempatkan menengok orang tuaku yang hanya tinggal berdua saja di rumah.

Setelah aktifitas lari pagi di akhir pekan, biasanya kami beristirahat sejenak dan duduk-duduk di rumah kontrakan, kemudian tiba saatnya membagi pekerjaan domestik yang tertunda selama hari kerja yaitu mencuci, menyetrika, mengepel dan sebagainya. Kami berbagi tugas dan memilih sesuai keinginan, biadanya aku mencuci dan dia menyetrika. Seperti biasa kalau saya memasak dia akan menemani untuk belajar atau mengerjakan yang lain seperti mengepel, mencuci motor atau menyapu halaman rumah. Hal ini terus berlangsung selama usia pernikahan dua bulan.
Di waktu-waktu luang dia banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga suka membaca buku, tapi dia lebih tahan lama berkutat dengan buku. Ketika sudah bosan dengan buku gitar diambilnya dan dinyanyikanlah beberapa lagu kesukaanku atau kesukaannya. Mulai dari lagu romantis sampai lagu-lagu kritik pedas.

Ketika berdua saja diwaktu senggang, seperti dimalam hari ketika pulang kerja atau saat hari libur kami bercanda saling mengejek, tertawa berdua dan Romansapun tercipta.  Kami tertawa saling melihat, bercumbu, suka sekali dia mengecup bibirku atau pipiku, aku juga membalasnya dengan kecupan-kecupanku kemudian yang terjadi kami saling memandang,  bersepakat pergi kekamar peraduan kami.

Cerita-cerita di atas mungkin terkesan sangat biasa dan kami yakin sebenarnya tidak hanya pasangan baru seperti kami yang ingin mempraktekkan hal serupa. Semua menjadi rutinitas begitu saja tanpa siapa mengharuskan mengerjakan apa dan siapa berperan sebagai apa. Barangkali itulah praktek sederhana kami dalam berupaya mempraktekan keadilan peran gender dalam  keluarga, tidak hanya memperdebatkannya dengan sengit. Namun, berbicara keadilan dan kesetaraan gender tidak cukup dengan praktek dalam pembagian kerja-kerja domestik saja, ada hal lain yang juga sangat penting yaitu tentang siapa yang memberi kontrol dalam pengambilan keputusan – keputusan penting dalam keluarga terutama yang menyangkut kepentingan masing-masing sehingga tidak pernah ada unsur keterpaksaan. Semoga setelah ini kami bisa berefleksi lagi melalui tulisan berikutnya untuk memperdalam teori dan praktek tentang kesetaraan dalam keluarga.

----------------------------------
Ditulis oleh Afidah (didiskusikan dengan Asep Mufti sebelum publikasi) Pasangan suami-istri yang sedang terus belajar ingin menjadi......
Top of Form
Bottom of Form

Rabu, 19 September 2012

Pemimpin Muda Harapan



Bangsa ini memimpikan pemimpin yang revolusioner dan bisa berbuat banyak, memiliki diplomasi yang baik dengan asing serta integritas tinggi, termasuk saya yang masih merasa menjadi bagian bangsa Indonesia dan saya masih mencintai bangsa ini sehingga saya masih berani berharap terjadinya perubahan yang lebih baik di negara ini.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang rekan yang saya anggap lebih berpengalaman dari pada saya di awal tahun baru ini beliau merefleksikan masalah kepemimpinan bangsa dikaitkan dengan fenomena masyarakat yang berkembang saat ini yang masih lekat dengan mentalitas terjajah contoh yag dekat pada masa itu terjadinya pembagian zakat fitrah sampai memkan korban dan penyakit korupsi yang menjangkit sebagian besar birokrat yang sudah mengakar. Bukankah pemimpin kita ya dari masyarakat kita sendiri yang begitu pula keadaanya dan tak jauh Beda.

Rakyat Masih Dibodohi


 Oleh :  Afi'dah*

Masihkah partai politik membodohi rakyat ketika kampanye? menurut saya jawaban pertanyaan tersebut masih. Karna indikasinya jelas,  msyarakat  apatis dengan pemilu yang dianggap sebagai pesta demokarasi di negeri ini namun terancam tingginya angka golput, sampai-sampai pemerimtah  dan MUI merasa butuh untuk membuat fatwa haram golput.

Hal  yang menyebabkan fenomena di atas adalah sebuah fakta.  Masyarakat tak berani berharap besar tejadinya perubahan di negeri ini melalui  pemilihan Umum. Sudah berkali-kali pemilihan umum tak mewujudkan Indonesia lebih baik, Karna hanya di perankan dan diwarnai para politisi yang  mengandallkan janji-janji, apalagi melalui iklan politik yang marak dimedia. Dan spanduk foto foto yang merubah jalan-jalan raya dan gang kecil mulai dari kota  dampai desa menjadi galeri gratis. Kini Iklan politik menjadi mantara manjur untuk mnembius para calon pemilih, dengan janji-janji kosong tanpa visi misi jelas yang bisa di terjemahkan kedalam program kerja nyata.

Mahasiswa, Masyarakat dan Iklan politik


0leh: Af'idah*

Politik mencakup lebih dari sekedar pengelolaan masalah publik, struktur dan organisasi pemerintah serta kampanye pemilu yang bersemangat. Lebih dari itu, politik mencakup aspirasi, tujuan, keyakinan, dan nilai – nilai kemanusiaan. Politik berkaitan dengan teori dan praktek, ketrampilan filosofis serta teknis.  Namun pada dataran praktis di Negara yang menganut demokrasi Kampanye politik akan selalu dilaksanakan.

Jika kampanye sebagai sosialisasi visi dan misi Partai yang realistis,  tentunya tidak akan  menjadi ironi, Baik ditempuh lewat media massa atau mobolisasi massa. Tapi yang terjadi bukanlah demikian kampanye parpol  hanya masih sebatas provokasi massa, berekepentingan untuk menjaring suara sebanyak – banyaknya, dan nihil upaya solutif yang direkomendasikan partai untuk permasalahan yang sedang dihadapi bangsa.Indonesia.

Kesadaran dan pemahaman partai politik bahwa bangsa indonesia masih berada di tengah krisis seharusnya tidak  hanya di dataran kepentingan politis, melainkan keadaan yang benar-benar di hadapi dan dicarikan upaya penyelesaiannya. Ironisnya politik pencintraan masih mendominasi.

Minggu, 09 September 2012

Diplomasi Perempuan Jawa


Oleh : Af' idah

Ketika membincang persoalan kesetaraan gender, kebanyakan orang cenderung melihat Barat sebagai kiblat. Padahal di belahan Timur dunia, tak jauh di depan mata, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari perhatian kita. 

Di Asia saja, terdapat sederet nama yang menjadi pemimpin masyarakat. Entah itu presiden, perdana menteri, maupun yang menjadi menteri-menteri. Sebut saja diantaranya (alm.) Benazir Butho (Pakistan), Gloria Macapagal Arroyo (Filiphina) dan Megawati Soekarno Puteri (Indonesia). Tanpa bermaksud mengangkat nama Megawati pada iklim politik yang mulai panas menuju pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009 dan terlepas dari fakta bahwa Megawati belum mencatat prestasi yang luar biasa sebagai pemimpin Namun Indonesia telah memberi kesempatan pada perempuan untuk memimpin.