Oleh : Afidah
Tidak
masuk dalam rencana Liburan
Berlibur ke Jepara, sesuatu
yang tidak terduga di akhir tahun 2012. Sebelumnya sekitar bulan Mei 2011 aku
pernah berlibur kesana bersama rekan-rekan kerjaku saat itu dan karena Jepara
letaknya tidak terlalu jauh dari kampung halamanku, maka saat masih kecil
seingatku sudah beberapa kali aku mengunjungi Kota Jepara.
Namun ini adalah kali pertama
aku mengunjungi Jepara bersama suamiku untuk berwisata dengan menggunakan transport
umum (bus), suamiku sudah pernah datang kesana namun untuk urusan kerja dan saat
itu diantar mobil dan sopir kantor, begitupun aku selalu datang ke Jepara
dengan kendaraan pribadi. Naik transport umum adalah ideku. Menurutku ide ini
adalah hal yang sudah jarang kami lakukan dalam rutinitas sehari-hari, jadi
akan memberi sensasi berbeda saat liburan. Selain itu naik bus berdesak-desakan
juga berfungsi untuk mengolah rasa. Lebih banyak ketidaknyamanan di dalam bus
akan membuat kami tetap dekat dengan realitas masyarakat.
Seperti aku bilang di atas,
berlibur ke Jepara adalah sesuatu yang tidak terduga, maksudku tidak kami
rencanakan jauh-jauh hari. Beberapa destinasi lain telah menjadi tujuan kami
berwisata sebelumnya, pertama kami
merencanakan ke Karimunjawa, kedua ke
Malang, ketiga ke Tegal dan keempat ke Wonosobo, semua tidak
terlaksana karna suamiku punya keterikatan kerja yang tidak bisa kami prediksi
jauh-jauh hari kapan kepastian tanggal dan jumlah hari liburnya, sehingga kami
tidak bisa mempersiapkan segala keperluan untuk berwisata terutama untuk booking tiket kereta tujuan Malang atau
kapal jika ingin ke Karimunjawa. Alhasil, saat liburan tiba kami kesulitan
mendapatkan tiket, jika ada harganyapun sudah naik 100% dan kami menghindari
berpergian dengan bus untuk jarak jauh (antar Propinsi) karena tidak tahan
dengan macetnya jadi kami memutuskan
tidak jadi bepergian jarak jauh, hari libur-pun tidak terlalu lama.
Jatah liburan kami 4 hari, namun
di hari pertama belum bisa berangkat karena ada seseorang yang membutuh
pertolongan suamiku sebagai advokat. Kami bisa berangkat liburan di hari ke-2, jadi
sangat kami perhitungkan tempat mana yang tepat untuk dikunjungi tanpa menghabiskan waktu di jalan.
Akhirnya ide itu muncul, ke Jepara, Kota kecil dengan beberapa pantai yang
cukup dikenal di Jawa Tengah. Selain itu suamiku juga ingin mengunjungi Museum
Kartini, karena dia termasuk orang yang menyukai sejarah. Pantai Kartini, Pantai
Bandengan dan Museum Kartini ketiganya sudah pernah kukunjungi namun aku tidak
menolak ide suamiku untuk pergi ke tempat-tempat itu, karena ia belum pernah
dan nuansanya pasti berbeda. Dulu aku pergi kesana bersama teman-teman kerja dan
sekarang pergi bersama suami.
Minggu,
30 Desember 2012 : Berangkat menuju Jepara
Pukul 11.00 WIB kami beranjak
dari rumah berjalan kaki sekitar 50 meter menuju tempat pemberhentian bus di
depan kompleks perumahan kami. Sekitar 15 menit kami menunggu, akhirnya Bus
jurusan Cangkiran-Terminal Terboyo melintas dan berhenti. Kami segera naik. Di dalam
bus ada TV layar datar 14 inci yang memutar lagu-lagu band yang mendayu-dayu
bergaya busana K-Pop yang sedang di gandrungi sebagian besar masyarakat saat
ini. Di tengah keramaian percakapan penumpang dan deru mesin, ada lagi satu
orang bapak-bapak yang merokok dan
asapnya kemana-mana. Ada penumpang yang duduk dan ada yang berdiri serta suara
lantang kernet ketika ada tanda-tanda calon penumpang di pinggir jalan.
Kami mendapat tempat duduk di
dekat pintu. Setelah beberapa menit, sang kernet menagih ongkos sebesar Rp 10.000,-
untuk 2 orang dengan tujuan Terminal Terboyo. Perjalanan menuju Terboyo memakan
waktu 1 jam lebih 15 menit atau 2 kali lipat waktu tempuh jika menggunakan
sepeda motor.
Pukul 12.15 WIB kami tiba di
Terminal Terboyo Semarang. Kami turun di pintu masuk pangkalan bus Surabaya,
Kudus dan Jepara. Kami segera menuju bus Jepara yang sudah diisi penumpang,
dengan harapan busnya akan segera berangkat. Sekitar 5 menit setelah kami duduk,
bus segera berangkat. Hampir semua tempat duduk telah terisi. Di luar terminal
banyak penumpang yang menunggu dan dalam sekejap bus telah penuh.
Tiba di Jepara
Sekitar pukul 14.00 WIB kami
tiba di Jepara. Di dalam Kota kami tidak lagi melihat berderet-deret toko mebel,
seperti yang kami lihat selama dalam perjalanan di Kecamatan Kalinyamat dan
Tahunan. kami minta kepada kernet bus untuk menurunkan kami di dekat alun-alun
karena tujuan pertama kami adalah Museum Kartini yang letaknya di kawasan
alun-alun kota persis di sebelah Shoping
Center.
Di lokasi tempat kami turun
dari bus, ada beberapa tukang becak mangkal. Suasana jalanan terasa sepi. Informasi
yang kami dapat memang tidak ada angkutan kota yang melintas di sini. Kami merasa
lapar. Segera saja mata kami mengamati sekeliling mencari warung yang sekiranya
menarik minat kami. Tak banyak warung makan yang kami jumpai, namun kami dapat
menemukan warung bakso setelah bercakap-cakap dengan tukang becak yang
rencananya kami gunakan jasanya untuk mengantar kami menuju Museum Kartini.
Singgah di warung bakso, Kami
memesan 2 gelas es teh dan 2 porsi bakso. Sambil menunggu pesanan aku
memandangi dinding warung yang di penuhi poster-poster Habib, tidak banyak yang
aku kenal. Yang dipesan sudah tersedia, kami-pun makan dengan lahap.
Usai makan, kami kembali
mendatangi tukang becak yang akan mengantar kami. Becak-pun dikayuhnya menuju
Museum Kartini. 15 menit kemudian kami sampai di Museum. Sebelum masuk ke Museum
kami bertannya tentang keseluruhan biaya becak dari Museum Kartini sampai Pantai
Kartini. Si bapak penarik becak meminta bayaran sebesar Rp 35.000,- dan kami
setuju. Sebetulnya dari pemberhentian bus ke Museum Kartini biaya becak hanya
sebesar Rp 10.000,- namun karena tidak ada alternatif angkutan lain, kami-pun
menggunakan becak kembali dengan tambahan biaya sebsar Rp.25.000,-. Di Jepara
tidak mudah menemukan angkutan umum yang
bisa mengantar ke berbagai tempat wisata.
Tidak banyak perubahan dengan
Museum Kartini, museum yang tidak terlalu besar. Di dalamnya sebagian besar
berisi koleksi foto-foto yang berhubungan dengan Kartini yang diberi
penjelasan-penjelasan di bawahnya. Yang menarik mataku adalah lukisan besar
sosok Kartini dan foto-fotonya bersama perempuan Belanda Ny. Abendanon yang
menjadi teman penanya dalam menuangkan gagasan-gagasan dan kekritisan Kartini
tentang kondisi perempuan dan masyarakat Hindia Belanda saat itu.
Sebenarnya aku menyukai Museum
Kartini karena temanya jelas. Semua benda yang dilatakkan disana berkaitan
dengan Kartini, baik itu tentang keluarganya, benda-benda semasa Kartini hidup
dan lain-lain. Tapi menurutku Museum ini kurang dikembangkan dengan arah yang
jelas. Di sebelah gedung utama terdapat satu gedung tambahan yang tersambung. Di dalamnya terdapat koleksi benda-benda yang
tidak terkait sama sekali dengan sosok Kartini, diantaranya kerangka ikan purba,
gong-gong, gentong-gentong, alat musik, mebel. dll. Hal ini mengingatkanku
dengan Museum Ronggowarsito Semarang yang pengembangnnya menurutku juga tidak
jelas, tema utamanya adalah tentang sejarah purbakala tapi kemudian di ruang-ruang
yang tersisa ditambahkan koleksi-koleksi yang tidak ada kaitannya dengan Zaman
Purbakala.
Menuju
Pantai Kartini : Mencari penginapan terjangkau yang bersih
Setelah menikmati Museum
Kartini, Si Bapak Penarik Becak mengantar kami ke Pantai Kartini sekaligus
mencarikan penginapan atau Homestay yang
menurut informasinya banyak penginapan murah dan cukup nyaman di dekat Pantai Kartini. Aku jadi
teringat saat pergi ke Pantai Kartini pada tahun 2011, saat itu memang aku
melihat beberapa Homestay di sana. Dimasa
libur seperti sekarang ini, tentu banyak pengunjung, penginapan-pun pasti
penuh.
Dengan perjalanan sekitar 20
menit kami telah sampai ke Pantai Kartini. Sampai di pintu Gerbang seorang
petugas telah menunggu kami dan minta biaya masuk sebesar Rp 10000,- untuk 2
orang. Si bapak penarik becak mebawa kami ke sebuah Homestay bergaya Bali yang nampak mungil dan cantik dari depan. Dia
minta kami menunggu di depan dulu, sementara dia masuk ke dalam penginapan
memastikan apakah ada kamar kosong serta memastikan apakah kenaikan harganya
masih wajar atau tidak. Sebentar saja dia masuk kemudian mempersilahkan kami
masuk dan bertemu dengan petugas Homestay,
kami diminta memilih kamar yang ber-AC atau non-AC. Dengan selisih harga
yang menurut kami lumayan banyak namun dengan kenyamanan yang tidak terlalu
berbeda jauh, kami memilih kamar non-AC dengan harga sebasar Rp 90.000,-.
Suasana sempat terasa tidak menyenangkan, hal itu dikarenakan petugas Homestay
yang seorang laki-laki muda kurang bersikap ramah, setelah kami
tegur karena merasa tidak nyaman dengan gaya bicaranya, yang terjadi justeru dia curhat bahwa dia
sangat kelelahan, semalaman tidak tidur karna homestay sedang sangat ramai dan dia bekerja sendirian.
Kami segera masuk kamar yang
telah kami pilih untuk meletakkan barang-barang dan beristirahat sejenak. Kamar
yang cukup nyaman dan bersih dengan harga yang tidak terlalu mahal.
Tidak ingin melewatkan suasana
pantai di sore hari, kami-pun segera keluar menuju pantai. Homestay tempat kami menginap terletak tepat di pesisir pantai,
berjalan beberapa langkah saja kami bisa langsung berjumpa dengan berbagai permainan
yang bukan seperti watersport ala
pantai-pantai di Bali, melainkan permainan yang sekarang ini sedang menjadi
tren di tengah kota atau diarea outbond, antara
lain seperti Skuter, ATV, sepeda gandeng, mobil dan motormini untuk anak-anak
serta motor balap mini.
Karena musim hujan, air laut
nampak keruh. Jadi pemandangan laut tidak begitu elok. Sejenak berjalan-jalan
menikmati pantai, namun sepanjang jalan pemandangan yang ada adalah sampah yang
tercecer. Sangat disayangkan karena sesungguhnya pantai masih “hidup” sebagai
tujuan turis lokal maupun turis asing yang ingin pergi ke Karimunjawa, mereka
pasti sering mampir karena letaknya persis di samping pelabuhan penyebrangan.
Sebagian besar turis yang bertujuan ke Karimunjawa, pasti menginap di hotel
atau homestay yang berada di Pantai
Kartini.
Akhirnya ATV dengan biaya sewa Rp 20.000,- menjadi pilihan
kami untuk menikmati sore sambil menunggu saatnya sunset tiba, namun sunset
yang diharapkan tidak muncul lantaran cuaca mendung.
Haripun telah menjadi gelap
dengan cuaca gerimis dan suasana sepi. Keramaian di Pantai Kartini segera
menghilang seiring datangnya malam. Setelah puas menikmati sore hari kami
segera membersihakan diri dengan mandi, kemudian membereskan barang-barang dan
rehat sejenak. Kami lapar! Kami bergegas
keluar, berjalan di tengah cuaca gerimis menuju ke arah lokasi warung-warung yang telah kami
lihat sebelumnya pada siang hari. Suasana benar-benar sepi. Hanya sekitar 3
warung saja yang buka. Kami segera memilih satu warung dan memesan 2 porsi nasi
goreng.
Mencari
info di Pelabuhan : “All About Karimunjawa”
Di pagi hari, kami tidak ingin
melewatkan suasana pantai. Namun lagi-lagi kami tidak menjumpai sunrise yang indah. Sekitar pukul 10.00
WIB kami segera cek-out dari homestay. Kami berjalan kaki menuju pelabuhan
untuk memastikan beberapa informasi tentang transportasi ke Karimunjawa yang
telah kami peroleh sebelumnya. Sambil mengamati suasana pelabuhan, kami
bertanya pada petugas yang ada disitu dan melihat pengumuman-pengumuman yang
ditempel mengenai harga tiket dan Jadwal keberangkatan kapal Muria [kapal
lambat] dan Bahari Express [kapal cepat], ini dia info yang berhasil kami
dokumentasikan dalam bentuk foto :
Menuju
Pantai Bandengan
Setelah merasa mendapat cukup
informasi segala hal mengenai Karimunjawa kami segera berlalu meninggalkan
Pantai Kartini dan pelabuhan.
Tidak ada transportasi yang
memudahkan wisatawan untuk sampai ke Pantai Bandengan dari Pantai Kartini,
itulah kesimpulan kami, mengapa begitu? Sesuai informasi yang kami dapat dari
Petugas Homestay untuk sampai di
Pantai Bandengan kami harus naik becak dulu ke terminal lalu mencari angkut
jurusan Pantai Bandengan di Terminal. Kamipun mengikuti petunjuk. Kami menumpak (naik) becak menuju terminal. Tiba
di Terminal kami langsung mencari informasi mengenai angkutan jurusan Pantai
Bandengan, namun menurut keterangan beberapa orang yang kami tanya, di terminal
tidak ada angkutan ke Bandengan, dari terminal kami harus naik becak dulu ke
jalan raya yang dilintasi angkutan. Huft, terasa begitu ribet untuk bisa sampai
ke Pantai Bandengan dan info-infonya-pun tidak jelas. Kami-pun hampir
membatalkan niat ke sana dan ingin langsung pulang ke Semarang saja mumpung
masih berada di terminal.
Namun akhirnya kami memutuskan
berjalan kaki untuk mendapatkan info lagi. Baru beberapa meter berjalan kaki,
mataku tertuju pada sebuah agen Travel. Kami memutuskan menghampiri agen
tersebut. Menurutku biasanya agen bisa
memberi informasi seluk beluk wisata di suatu daerah terutama mengenai transportasinya.
Ternyata agen travel ini melayani perjalanan jurusan Jepara-Semarang, di sini
kami bertanya lagi mengenai transportasi ke arah Pantai Bandengan dan dengan
yakin mereka menjawab bahwa kami akan sangat kesulitan untuk pergi ke Pantai
Bandengan dengan angkutan, karena angkutan yang ada tidak sampai ke pantai dan angkutan
yang ada terbatas sampai jam 3 sore, dari terminal ke tempat angkutan juga jauh
dan harus berputar-putar.
Tanpa kuduga mereka akhirnya
menawarkan diri untuk mengantarkan kami dengan menggunakan motor atau pilihan
lainnya motor mereka bisa kami pakai dengan biaya sewa sebesar Rp 50.000,-.
Kami memilih pilihan kedua. meskipun terasa mahal namun tak apalah, itu lebih
baik daripada sudah berada di Jepara namun satu destinasi yang kami rencanakan
sebelumnya tidak jadi kami kunjungi. Suamiku
juga ternyata belum pernah kesana. Selain itu dengan menyewa motor kami bisa mudah
berkeliling kota.
Oleh-oleh
madu : Kado manis dari pantai Bandengan di tengah terik Matahari
Dengan mengendarai sepeda motor
yang telah kami sewa, segera saja kami meluncur ke pantai Bandengan dengan
petunjuk arah yang kami dapat dari para pekerja travel agent. Salah satu dari mereka mengantar kami sampai di
pertengahan jalan, dimana dari jalan tersebut kami tinggal lurus saja tanpa
berbelok-belok arah menuju pantai bandengan.
Sekitar 20 menit perjalanan yang
kami tempuh untuk sampai di tujuan. Yang pertama kami lakukan adalah menyusuri
sepanjang pantai yang jalan terdekatnya telah di Aspal. Setelah sampai di ujung
jalan, kami kembali ke area parkir untuk meninggalkan motor sewaan kami dengan
aman. Setelah itu kami segera mencari tempat makan karena lapar.
Warung sederhana dengan menu
soto yang berdampingan dengan warung mie ayam kami pilih. Aku pesan soto dan
suamiku pesan mie ayam. Di sela-sela kami makan datanglah seorang ibu yang
menawarkan madu asli dengan harga Rp 50.000,-. Ahay! kami tertarik dengan madu
ini. Menurut pengamatan kami sesuai ciri-cirinya madu ini asli. Kamipun menawar
madu tersebut dengan harga Rp 30.000,- awalnya tidak boleh namun akhirnya satu
botol madu yang diwadahi botol sirup itu kami dapat dengan harga Rp 30.000,-.
Menurutku ini terjangkau karena sebotol plastik kecil saja dan mungkin sudah
tercampur dengan bahan lain yang dijual di toko-toko atau apotek harganya sampai
Rp 15.000,-. Madu ini menjadi bonus
kecil atas tenaga dan biaya yang harus kami tebus untuk sampai di pantai
bandengan.
Suasana pantai sangat ramai
hampir di segala sudut penuh dengan manusia persis seperti perkiraanku sebelumnya,
karena ini adalah liburan tahun baru. Suasana terlalu ramai tidak terlalu kusuka.
Sebenarnya Bandengan termasuk pantai yang cocok untuk bermain air dan disini
juga terdapat permainan-permainan watersport,
namun kami tiba di pantai ditengah panas terik siang, dan sayangnya kami bukan termasuk
orang yang punya hobi berjemur. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan-jalan
saja di pinggir pantai.
Pada kunjungan sebelumnya aku
pernah mencoba permainan banana boat di
pantai ini. Aku menawari suamiku barangkali dia tertarik dengan salah satu
permainan. Namun rupanya dia juga sedang tidak ingin bermain. Energi kami sudah
cukup terkuras dengan perjalanan 1 hari sebelumnya. Penyeberangan ke pulau
Panjang untuk beberapa saat juga ditutup karena gelombang laut sedang besar.
Beberapa waktu lalu aku dengar
pantai ini juga telah menelan korban jiwa. Akhirnya kami duduk-duduk di Gasebo
menikmati pemandangan saja, sambil beberapa kali mengambil gambar. Puas
menikmati pantai dengan menyusuri pinggirannya, kamipun berlalu dari pantai
Bandengan.
Dalam perjalanan pulang kami ingin memanfaatkan
motor untuk mengunjugi sentra kerajinan ukir dan patung di Desa Mulyoharjo. Kami
bertanya dengan beberapa orang di pantai Bandengan dimana lokasinya. Karena
tidak tahu pasti atau kurang jeli dengan petunjuk kami-pun tidak menemukan lokasinya
dan akhirnya kami hanya berputa-putar saja mengelilingi kota. Karena gerimis
kembali turun, kami memutuskan kembali ke tempat agen travel, tempat kami menyewa motor dan memesan tiket pulang ke
Semarang.
Kami pulang ke Semarang dengan
jasa travel seharga Rp 25.000,- /orang. Sekitar pukul 17.20 WIB kami tiba di
Jl. Pemuda Semarang sebagai pemberhentian terakhir.
--Januari 2013--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar