Sabtu, 22 September 2012

Bersama Suami Penyabar


 Secara tidak sengaja ketika sedang melihat-lihat facebook, saya membaca sebuah catatan berjudul “Ayahku Hebat” karya Siti Aminah atau Mba Ami (lihat http://www.facebook.com/notes/siti-aminah/ayahku-hebat-/10150207303594277), dengan ringan Mba Ami dalam catatannya mengungkap indahnya relasi setara dalam keluarga, dan itu menjadi inspirasi bagiku untuk menulis tentang suamiku "Asep Mufti" yang saat ini menjalani proses dialog denganku tentang feminisme dan peran-peran gender, kemudian kami mempraktekkan dalam sebuah keluarga kecil yang masih sangat baru dan belum memilki anak, pastinya perjalanan masih sangat panjang.

Ya, kami sedang mencoba menerapkan budaya baru dalam pola relasi kami dengan prinsip setara, tidak saling mendominasi dan terus bekerjasama. Pastinya dia belum sepenuhnya menjadi laki-laki baru dengan 10 kriteria yang disebutkan Gadis Arivia -- seperti yang diuraikan dalam catatan “Ayahku Hebat” --, tapi dengan sangat sabar dia menjalani proses itu dengan terus belajar teorinya sedikit demi sedikit dan mempraktekannya. Salah satu prinsip yang sejak awal sudah disepakati adalah anti poligami.

Prakteknya menurut pengalaman kami juga sangat sederhana, karena dialog dan diskusi sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum Kami memutuskan menikah. Tibalah saatnya kami mempraktekannya, tepatnya sejak bulan April 2011. Aku ingin menyebutnya sebagai Sang suami sabar dan peduli, kenapa aku menyebutnya sebagai suami yang sabar karna dia tidak pernah marah dan selalu tenang menghadapiku yang hobi ngomel-ngomel. Oiya, sebelum terlalu jauh saya menyimpulkan tentang suamiku dan mungkin sangat subjektif, karena itu saya ceritakan prakteknya saja dan bisa diambil kesimpulan dari refleksi sederhana ini.

Setelah waktu cuti menikah berakhir, secara otomatis kami bersiap-siap menjalani rutinitas masing-masing seperti dahulu sebelum menikah, namun dalam situasi dan kondisi yang berbeda yaitu tinggal bersama dalam satu rumah kontrakan, tidur bersama dalam satu kamar dan hampir setiap hari menjalani aktivitas bersama kecuali pada saat bekerja. Kami bekerja di 2 lembaga yang berbeda namun memiliki kedekatan sejarah, walaupun mungkin ada kontradiksi diantara keduanya, seperti halnya kami berdua yang juga penuh kontradiksi. Bagaimanapun kedua lembaga tersebut membuat kami bertemu, berpacaran dan memutuskan menikah.

Aku dan dia memiliki ritme kerja yang berbeda terkait jam kerja, suamiku lebih mengikuti ritme kerja dan jadwalku. Setiap pagi saya harus membangunkannya, kalau tidak dia akan bangun jam 8 pagi dan itu sangat terlambat bagiku untuk memulai aktivitas. Dengan cukup sulit setiap hari dia bangun pagi dan sejauh ini tidak pernah mengeluh dengan kebiasaan baru ini. Ada kalanya aku atau dia menyempatkan memasak atau membuat menu-menu sederhana untuk sarapan atau kami putuskan untuk langsung berangkat dan mengisi perut di luar rumah saja.

Tidak ada keharusan mengerjakan pekerjaan domestik buat aku ataupun dia di pagi hari, yang menjadi prioritas adalah mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja. Di rumah kontrakan kami tinggal berdua. Setiap hari rumah masih cukup rapi dan bersih hanya dengan disapu suamiku di pagi hari. Dia tidak pernah mengharuskanku mengerjakan apapun. Biasanya membakar roti atau membuat nasi goreng menjadi inisiatifku untuk menikmati sarapan berdua di rumah. Dia lebih suka aku yang memasak karena kalau dia yang memasak hasilnya tidak enak dan faktanya memang begitu karena itu ketika aku sedang memasak dia selalu menemaniku hanya untuk belajar bagaimana cara memasak. Dia juga biasanya membantuku mencuci piring.

Di akhir pekan kita biasakan lari pagi, lokasi yang kami pilih biasanya di Mugas, stadion Jatidiri atau di dekat rumah saja. Kebiasaan ini sering kami lakukan bersama teman-teman. Biasanya setelah itu kami  makan bersama di luar, kemudian langsung pulang atau mampir toko buku untuk melihat-lihat barangkali ada buku menarik yang bisa kami beli. Rutinitas ini kadang tidak dilakukan, karena sesekali di akhir minggu dia menemaniku mengunjungi orang tuaku yang tinggal di Pati. Sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara yang tinggal terdekat dengan orang tua -- domisili 2 kakakku di Pandeglang dan Bekasi – aku dan suami selalu menyempatkan menengok orang tuaku yang hanya tinggal berdua saja di rumah.

Setelah aktifitas lari pagi di akhir pekan, biasanya kami beristirahat sejenak dan duduk-duduk di rumah kontrakan, kemudian tiba saatnya membagi pekerjaan domestik yang tertunda selama hari kerja yaitu mencuci, menyetrika, mengepel dan sebagainya. Kami berbagi tugas dan memilih sesuai keinginan, biadanya aku mencuci dan dia menyetrika. Seperti biasa kalau saya memasak dia akan menemani untuk belajar atau mengerjakan yang lain seperti mengepel, mencuci motor atau menyapu halaman rumah. Hal ini terus berlangsung selama usia pernikahan dua bulan.
Di waktu-waktu luang dia banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, aku juga suka membaca buku, tapi dia lebih tahan lama berkutat dengan buku. Ketika sudah bosan dengan buku gitar diambilnya dan dinyanyikanlah beberapa lagu kesukaanku atau kesukaannya. Mulai dari lagu romantis sampai lagu-lagu kritik pedas.

Ketika berdua saja diwaktu senggang, seperti dimalam hari ketika pulang kerja atau saat hari libur kami bercanda saling mengejek, tertawa berdua dan Romansapun tercipta.  Kami tertawa saling melihat, bercumbu, suka sekali dia mengecup bibirku atau pipiku, aku juga membalasnya dengan kecupan-kecupanku kemudian yang terjadi kami saling memandang,  bersepakat pergi kekamar peraduan kami.

Cerita-cerita di atas mungkin terkesan sangat biasa dan kami yakin sebenarnya tidak hanya pasangan baru seperti kami yang ingin mempraktekkan hal serupa. Semua menjadi rutinitas begitu saja tanpa siapa mengharuskan mengerjakan apa dan siapa berperan sebagai apa. Barangkali itulah praktek sederhana kami dalam berupaya mempraktekan keadilan peran gender dalam  keluarga, tidak hanya memperdebatkannya dengan sengit. Namun, berbicara keadilan dan kesetaraan gender tidak cukup dengan praktek dalam pembagian kerja-kerja domestik saja, ada hal lain yang juga sangat penting yaitu tentang siapa yang memberi kontrol dalam pengambilan keputusan – keputusan penting dalam keluarga terutama yang menyangkut kepentingan masing-masing sehingga tidak pernah ada unsur keterpaksaan. Semoga setelah ini kami bisa berefleksi lagi melalui tulisan berikutnya untuk memperdalam teori dan praktek tentang kesetaraan dalam keluarga.

----------------------------------
Ditulis oleh Afidah (didiskusikan dengan Asep Mufti sebelum publikasi) Pasangan suami-istri yang sedang terus belajar ingin menjadi......
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar