oleh: Afidah
9 November 2011
Langit
mendung dan udara tidak terlalu panas, dengan mengendarai sepeda motor aku
berangkat dari Kota Semarang menuju sebuah Desa di Kabupaten Kendal, sekitar
pukul 11.00 WIB aku sampai di Desa
Rowobranten tepatnya di Dusun Rowowaking. Desa Rowobranten adalah desa di
Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal yang biasanya penuh dengan tembakau pada
saat musim tiba dan hampir seluruh penduduknya termasuk perempuan bekerja di
Sawah baik sebagai petani tembakau maupun sebagai buruh tani tembakau. Namun
dibalik wajah Desa yang lekat dengan kegiatan pertanian tersimpan satu fenomena,
sebagian besar penduduk desa Rowobranten terutama perempuan bekerja sebagai
Buruh Migrant. Selama Setahun sejak Juli 2009 aku begitu rajin
mengunjungi Desa ini untuk menjalankan
Feminist Participatory action research/ FPAR hingga menjadi sejarah yang begitu
melekat di pikiranku, suatu hari kemudian ku ketahui dari para perempuan desa
bahwa trend bekerja sebagai buruh migrant telah berlangsung sejak tahun 1990.
Kali ini, Saat aku tiba disana musim tembakau baru saja usai, sehingga aktivitas warga Desa kembali luang, karena pada saat panen tembakau tiba semua warga desa memiliki aktivitas yang padat dalam menyambut panen tembakau. ingatanku kembali pada 2 tahun lalu saat panen tembakau, dan aku berada disana.
Ketika aku duduk-duduk diteras rumah mb Lely (seorang perempuan mantan Buruh migrant) sambil beristirahat selepas perjalanan aku memandang hamparan sawah yang luas, aku teringat tahap demi tahap tembakau di hasilkan, mulai dari saat dipetik dari pohonnya disawah, hingga proses-proses berikutnya. di pagi hari Para laki-laki dan perempuan bekerja memanen tembakau di sawah, memetik lembar demi lembar daun dari Pohonnya, Setelah daun tembakau dibawa pulang kerumah dari sawah, para perempuan yang tidak ikut ke Sawah menyambut dengan berkumpul di depan rumah dan mengerjakan tahapan selanjutnya yaitu ngerowei---istilah lokal menata lembar-lembar daun tembakau dengan rapi sebagai persiapan sebelum diiris-----, Dalam waktu tak lama setelah para perempuan Ngerowei, Daun-daun tembakaupun telah rapi dan siap untuk di Rajang---istilah lokal mengiris daun-----biasanya aktivitas ini dilakukan malam hari . Disaat para laki-laki mengiris daun para perempuan pun bekerja menata irisan demi irisan ke dalam sebuah tempat berbentuk persegi panjang mendatar dan cukup lebar terbuat dari bambu, seluruh irisan daun ditata dan diurai-urai. Sekilas aktivitas ini sangat sederhana tapi ternyata mebutuhkan keahlian khusus, sentuhan tangan yang tidak lihai akan merusak daun tembakau.
Tahap
Selanjutnya adalah menayam atau Tayam, agak sulit menjelaskan menayam tanpa disertai foto-foto.
Menayam adalah menyimpan daun tembakau
di dalam keranjang-keranjang yang
terbuat dari bambu yang sebelumnya telah dilapisi daun pisang kering, kemudian daun-daun tembakau yang telah diiris dimasukkan
kedalamnya dengan penataan yang rapi dan pas (maksudnya tidak boleh terlalu
penuh).
Daun-daun yang sudah tertata di dalam wadah penjemur terbuat dari bambu, kemudian disimpan ke dalam keranjang selama kurang lebih satu minggu. Setelah beberapa proses di atas dilalui, barulah tembakau siap dijual oleh para petani tembakau kepada pedagang dan tengkulak. Pada akhirnya tembakau-tembakau ini sampai di Gudang-gudang perusahaan rokok baik Perusahaan besar maupun kecil.
Ingatanku
itu membuatku begitu tertarik menguraikan tentang Proses pengolahan tembakau
dalam tulisan ini, mungkin saja tidak banyak perokok yang tahu proses ini,
terutama yang tinggal di perkotaan dan tidak pernah melihat secara langsung
kehidupan para petani tembakau di pelosok-pelosok Desa.
Dan
ternyata musim kemarau di tahun 2011 yang telah berlalu membawa kebahagiaan bagi petani tembakau karena
harga Panennya tidak anjlok. para petanipun bisa meraup keuntungan untuk
menyambung kehidupan mereka. Setelah proses panjang yang telah di lalui baik
dari jerih payah selama di Sawah dan pada saat mencari modal yang sering kali
berasal dari kiriman para istri atau sanak keluarga yang bekerja sebagai Buruh
migrant atau pinjaman Bank. Walaupun demikian para istri petani tembakau harus memutar otak agar berhasil mengelola
uang hasil Panen untuk mencukupi kebutuhan selama 5 bulan bagi seluruh anggota
keluarga meliiputi makan, sekolah anak dan lain sebagainya. Bagi para buruh
tani panen yang usai berarti masa-masa sulit dimana di desa tidak ada pekerjaan
lagi yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Situasi seperti ini menjadi
salah satu alasan yang mendorong para perempuan untuk bekerja menjadi Buruh
migrant dengan cita-cita menghasilkan uang yang banyak untuk kepentingan
keluarga (antara lain membeli sawah dan membangun atau memperbaiki rumah).
Hiruk
pikuk panen tembakau telah usai, musim hujan telah tiba, sawah-sawah yang
terhampar telah ditanami Jagung, Laki-laki dan perempuan kebanyakan tidak lagi
punya kesibukan yang berarti. Rumah yang pertama kali ku kunjungi adalah Rumah
mbak Lely (seorang perempuan yang juga Ketua organisasi perempuan mantan dan
calon Buruh migrant di Desa Rowobranten). Masih seperti dulu, Sekitar pukul
11;00 WIB saatnya mb Lely berada di kamar dan menidurkan kedua anak
perempuannya Ratih dan Gendis. Beruntung si Bungsu Gendis telah tertidur jadi
kami bisa berbincang santai walau Ratih belum tertidur namun dia tidak begitu
terganggu dengan pembicaraan kami.
Dengan
antusias Mbak lely bercerita tentang situasi organisasinya saat ini dan tentang
keadaan para Ibu-ibu yag menjadi anggota Organisasi. Dimulai cerita tentang
kabar beberapa anggota yang sekarang masih ada di Luar negeri, diantaranya mbak
Sri yang masih berada di Singapura dan sebentar lagi pulang ke Desa. Sebelum
pergi ke Singapura mbak Sri sempat menjalankan tugasnya sebagai sekretaris
organisasi. Mbak Sri adalah salah satu anggota yang sangat bersemangat dan terus
mengajak teman-teman perempuannya khusunya mantan buruh Migrant untuk terus
berkumpul dan belajar dalam sebuah
organisasi . Para anggota lain yang masih di luar Negeri adalah mbak Supiyah,
mbak Fitri dan mbak Tari. Kesemua perempuan yang masih diluar Negeri adalah
para perintis Organisasi perempuan mantan buruh migrant di Desanya, dan
organisasi itu telah berumur 3 Tahun.
Kabar
yang tidak kusangka adalah tentang Bu Maesaroh yang melahirkan lagi, aku agak
kaget karna Bu Maesaroh telah memilki cucu, Tapi beliau masih tampak muda dan
terlihat sekali sosoknya sebagai perempuan yang sehat dan kuat. Satu lagi
tentang Mb Ngatni yang ternyata telah pulang dari Arab Saudi, mb Ngatni juga
termasuk ikut andil sejak awal perintisan organisasi, dia selalu ikut dalam
setiap pertemuan di Tahun 2009 walaupun tidak berselang lama mb Ngatni
berangkat lagi ke Arab Saudi.
Cerita
tentang kejadian menyedihkan dan cukup tragis kembali muncul dan cerita itu tentangi mb AN, (salah
satu anggota organisasi perempuan mantan buruh migrant) ternyata mb AN sekarang
sudah tidak tinggal di Rumahnya. Rumah
dimana 2 tahun lalu aku menginap . Mb AN adalah seorang perempuan mantan Buruh
migrant yang di poligami suaminya, tidak tanggung-tanggung suaminya
berpoligami, suaminya beristri 4 dan mb AN adalah istri pertama. Sejak pertama
datang ke Desa aku telah mendapat informasi dari teman-teman dekatnya bahwa mb
AN sering dipukuli suaminya, tidak hanya itu suaminya sering memaksa mb AN
untuk mengijinkannya menjual barang-barang yang mb AN miliki dan meminta uang
untuk diberikan kepada istri-istri mudanya. Suami mb AN juga seorang buronan
polisi karena mencuri di daerah jawa Timur yang merupakan domisili istri
ketiganya. Dan saat ini ternyata suaminya pulang bersama istri keempatnya dan
tinggal di rumah mb AN, menurut keterangan mb Lely, mb AN mengalah begitu saja
dan sekarang memilih tinggal di Rumah orang tuanya. Selain itu suami mb AN juga
telah dilaporkan ke polisi oleh salah satu istrinya dengan tuduhan melakukan
KDRT.
Mb
AN adalah sosok perempuan pekerja keras segala pekerjaan berat bisa ia lakukan,
diantaranya menjadi buruh tanam disaat musim tanam padi, buruh cabut rumput
disawah, mengais sisa panen padi dan dia juga pernah sekali bekerja sebagai
buruh migrant tepatnya di Singapura. Perbincangan tentang keadaan mb AN terlalu
membuatku sedih, akhirnya kulontarkan pertanyaan pada mb Lely tentang situasi
organisasi dan Koperasi kecilnya, kemudian mb Lely menjawab “simpan pinjamnya lancer, pembukuannya mb
Eni (Bendahara organisasi) bagus dan rapih, kami masih kumpulan rutin sebulan sekali dan iuran
bulanan Rp 1000 serta menabung, mending sedikit tapi jalan terus. Kalau aku
kesulitan juga bias minta bantuan ibu-ibu”
Sekitar
pukul 12.30 WIB, perbincangan antara aku dan mb Lely sementara berakhir, karena
mb Lely harus keluar untuk membeli keperluan anak-anaknya. Saat mb Lely pergi, aku
menunggui anaknya yang masih tertidur di kamar sambil merenanakan berkunjung
kerumah ibu-ibu yang lain. Aku berbaring di kamar mb lely sambil memandangi
gendis dan Ratih (anak-anak mb Lely) yang sedang tertidur pulas, Baru beberapa
saat, tiba-tiba muncul ada suara “kapan
tekane da?” dari sosok seseorang di Jendela dan Sangat mengagetkaknku. Oh
Ternyata dia Bu Salimah, dan aku menjawab “ndek
wau bu jam sewelas”. Ibu
satu ini (Bu Salimah) dan suaminya telah seperti orang tuaku sendiri, mereka tak
pernah sedikitpun membiarkanku berlalu ketika aku datang. Bu Salimah mengajak
aku bergegas main kerumahnya dan menawarkan makan siang. Hmm aku bingung ingin
sekali menerima tawaran tersebut karena sebelumnya sudah janjian sama mb Lely
mau makan Bakso, kalau menerima tawaran Bu Salimah nanti kenyang dan perutnya
tidak muat makan Bakso. Terpaksa aku menolak tawaran bu Salimah.
Pukul
13:00 aku berada di Rumah Bu Salimah seperti biasa kami duduk diteras, bercengkrama
dengan tetangga sekitar yang dulu kami telah sangat akrab dan tanpa terasa
telah cukup lama tidak bertemu. Ada seorang nenek yang sudah tua (aku lupa
namanya) dia merupakan mertua mb Tari (Buruh migrant yang masih bekerja di
Hongkong), nenek inilah yang selalu merawat anak perempuan mb Tari yang masih
berusia 4 Tahun selama mb Tari bekerja di Hongkong. Nenek menanyakan kabarku
yang sekian lama sudah tidak datang berkunjung ke Desa lagi, obrolan berlanjut
dengan topik-topik ringan seputar kegiatan nenek dan Bu Salimah sehari-hari
serta kegiatan-kegiatan terdekat di Desa, keceriaan dan canda tawa mewarnai
obrolan ini sampai waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB dan saatnya aku harus
berpamitan pulang ke Semarang sebelum hari terlau gelap.
Demikian
Kisah terbaru diakhir tahun 2011 yang kuperoleh dari para perempuan mantan
buruh migrant yang berorganisasi yang menurutku sangat hebat, kehidupan mereka
selalu diwarnai tantangan-tantangan yang tidak mudah namun pilihan mereka
adalah terus berjuang dengan segala daya menghadapinya.
********
8 April 2012
Sekirtar
jam 9 Pagi aku masih santai-santai di Rumah, Ponselku berdering dan ternyata mb
Lely yang memanggil dengan nada bicara sangat cepat dan naik turun dia
menyampaikan kalau dia telah lari dari Rumah bersama Ratih dia sudah tidak
tahan berada di Rumah suaminya karena sang suami telah 3 bulan tidak pulang
tanpa kabar (ini bukan kali pertama tapi kesekian kali) dan mb Lely merasa
telah memiliki bukti-bukti bahwa suaminya telah bersama perempuan lain. Aku teringat
2 tahun lalu pernah melihat wajah mb Lely memar dan bibirnya lebam karna
dipukuli suaminya.
Ternyata
dia sudah di Semarang, dia menanyakan alamatku, dia butuh tempat berteduh di
Semarang semalam karna muali tanggal 9 April 2012 dia akan mengikuti Pelatihan
Ketrampilan Salon yang akan diadakan Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
Mb
Sri telah pulang, pada saat mb Lely pergi dari Rumah, mb Sri bersama Bu Salimah
yang mengurus baju-baju mb Lely yang dititipkan ditetangga sebelah
dan membawaknnya ke Semarang karna mb Lely pergi hanya dengan keperluan anaknya
saja tanpa membawa banyak baju, Jika membawa terlalu banyak baju dia akan
sangat kerepotan. Selain menyimpankan bajunya mb Lely, mb Sri juga meminjamkan
ponselnya pada mb Lely agar dia bisa
berkomunikasi selama perjalanan. Sejak saat inilah mb Lely memutuskan
meningglkan Desa Rowobranten (tempat asal suaminya) yang telah mempertemukannya
dengan para perempuan mantan buruh migrant yang kemudian menjadi anggota
organisasi dan para perempuan inilah yang membantu mb Lely di masa-masa
sulitnya.
Sejak
saat itulah keputusan berat harus diambil mb Lely yaitu meninggalkan Desa yang
telah mempertemukannya dengan para perempuan hebat itu sekaligus Desa dimana
dia tinggal bersama suami yang sekarang telah memberinya kesusahan yang besar.
9 April 2012
Para
Perempuan anggota organisasi (mb Sri, mb Is dan kawan-kawan) berangkat ke
Semarang membawakan Tas mb Lely dan telah berjanji bertemu di suatu tempat di
Semarang. Aku mengantar mb Lely untuk bertemu mereka.
Oleh : Afidah
Pelaku FPAR di
LRC-KJHAM 2009-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar