Sabtu, 22 September 2012

Mencatat Kebaikanmu

Tulisan kedua lanjutan dari “Bersama Suami Penyabar”

Dalam cerita sebelumnya aku menceritakan tentang pembagian kerja domestik bersama suamiku “Asep”, aku memang ingin memberi apresiasi pada usaha-usahanya untuk menjadi lelaki yang berbeda atau sekarang ada yang menyebutnya lelaki baru. Walaupun masih banyak yang harus ditempuh untuk membuktikan konsistensinysa. Dan kesabarannya yang masih tetap setia menemani hubungan kami. Akupun belum berubah, karakterku yang masih terus berteman dengan kemarahan disela-sela hidup penuh kasih sayang yang sedang kurajut. Dialog yang sering menemukan kesepahaman namun kontradiksi besar tak kalah sering menganga dan sangat menantang.


Sebuah Peristiwa menjadi bagian dalam permulaan perjalanan menjadi hidup sebagai sepasang suami istri (Afidah dan  Asep Mufti). Aku mengalami kecelakaan saat sedang mengendarai sepeda motor, tangan kiriku terkilir, kakiku bengkak dan terdapat beberapa luka memar. Pasca jatuh selama kurang lebih dua minggu hanya tangan kananku yang berfungsi dengan maksimal. Semua efek jatuh itu  terasa sakit sekali, dalam hitungan minggu sakit itu masih tersisa.  aku mengalami hambatan untuk menjalankan semua aktifitas sehari-hari mulai dari dari melepas dan mengenakan baju, mandi, bangkit dari posisi tidur dan pergi kelokasi-lokasi yang harus aku kunjungi.

Pada saat demam tinggi aku juga tidak bisa mandi namun keringat terus  bercucuran dan badan semakin terasa tidak nyaman. Saat situasi  seperti inilah  Asep berperan sebagai perawat, dengan sabar dia menyuapiku saat makan, membantu mengenakan dan melepas baju, mengelap badanku yang tidak bisa mandi, siaga untuk membantuku bangkit dari posisi tidur dan siap mengantar berobat dan kontrol ke dokter. Untuk sementara dalam kondisi yang seperti ini dia memaksimalkan waktunya untuk bersama denganku. di saat raga kelelahan selalu siap tangan memijat dan kepala yang sedang pusing selalu ada yang membelai lembut kepala sampai tertidur, lalu apa lagi yang harus kutuntut padanya,

Namun hidup tetaplah hidup, kalau semua indah saja tidak ada buruknya tentu kita tidak bisa mengatakan itu indah jika tak pernah melihat ketidakindahan. Kehidupan pernikahan bukan soal keindahan saja atau Happy everafter, tapi bagaimana kita bisa melewati setiap persoalan itu yang lebih membahagiakan dan kadang-kadang mencengangkan kita sendiri. Ada ruang-ruang yang tepat yang bisa dipilih untuk mendokumentasiakan tapi bukan disini ; sementara dialoge dan refleksi tujuan bersama masih menjadi kunci, ya.. Semua masih tetap terasa terlalu indah.

walaupun kita berdua tidak pernah tahu seperti apa kondisinya setelah beberapa tahun lagi,,..? Jawabannya mungkin ada pada bagaimana cara kita bersikap….

Ditulis Seorang Perempuan yang sedang jatu bangun belajar
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar