Tulisan kedua lanjutan dari “Bersama
Suami Penyabar”
Dalam cerita sebelumnya aku
menceritakan tentang pembagian kerja domestik bersama suamiku “Asep”, aku
memang ingin memberi apresiasi pada usaha-usahanya untuk menjadi lelaki yang
berbeda atau sekarang ada yang menyebutnya lelaki baru. Walaupun masih banyak
yang harus ditempuh untuk membuktikan konsistensinysa. Dan kesabarannya yang
masih tetap setia menemani hubungan kami. Akupun belum berubah, karakterku yang
masih terus berteman dengan kemarahan disela-sela hidup penuh kasih sayang yang
sedang kurajut. Dialog yang sering menemukan kesepahaman namun kontradiksi
besar tak kalah sering menganga dan sangat menantang.
Sebuah Peristiwa menjadi bagian
dalam permulaan perjalanan menjadi hidup sebagai sepasang suami istri (Afidah
dan Asep Mufti). Aku mengalami kecelakaan saat sedang mengendarai sepeda
motor, tangan kiriku terkilir, kakiku bengkak dan terdapat beberapa luka memar.
Pasca jatuh selama kurang lebih dua minggu hanya tangan kananku yang berfungsi dengan
maksimal. Semua efek jatuh itu terasa sakit sekali, dalam hitungan minggu
sakit itu masih tersisa. aku mengalami hambatan untuk menjalankan semua
aktifitas sehari-hari mulai dari dari melepas dan mengenakan baju, mandi,
bangkit dari posisi tidur dan pergi kelokasi-lokasi yang harus aku kunjungi.
Pada saat demam tinggi aku juga
tidak bisa mandi namun keringat terus bercucuran dan badan semakin terasa
tidak nyaman. Saat situasi seperti inilah Asep berperan sebagai
perawat, dengan sabar dia menyuapiku saat makan, membantu mengenakan dan
melepas baju, mengelap badanku yang tidak bisa mandi, siaga untuk membantuku
bangkit dari posisi tidur dan siap mengantar berobat dan kontrol ke dokter.
Untuk sementara dalam kondisi yang seperti ini dia memaksimalkan waktunya untuk
bersama denganku. di saat raga kelelahan selalu siap tangan memijat dan kepala
yang sedang pusing selalu ada yang membelai lembut kepala sampai tertidur, lalu
apa lagi yang harus kutuntut padanya,
Namun hidup tetaplah hidup, kalau
semua indah saja tidak ada buruknya tentu kita tidak bisa mengatakan itu indah
jika tak pernah melihat ketidakindahan. Kehidupan pernikahan bukan soal
keindahan saja atau Happy everafter, tapi bagaimana kita bisa melewati
setiap persoalan itu yang lebih membahagiakan dan kadang-kadang mencengangkan
kita sendiri. Ada ruang-ruang yang tepat yang bisa dipilih untuk
mendokumentasiakan tapi bukan disini ; sementara dialoge dan refleksi tujuan
bersama masih menjadi kunci, ya.. Semua masih tetap terasa terlalu indah.
walaupun kita berdua tidak pernah
tahu seperti apa kondisinya setelah beberapa tahun lagi,,..? Jawabannya mungkin
ada pada bagaimana cara kita bersikap….
Ditulis Seorang Perempuan yang
sedang jatu bangun belajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar