Oleh : Af' idah
Ketika
membincang persoalan kesetaraan gender, kebanyakan orang cenderung melihat Barat sebagai kiblat. Padahal di belahan Timur dunia,
tak jauh di depan mata, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari
perhatian kita.
Di
Asia saja, terdapat sederet nama yang menjadi pemimpin masyarakat. Entah itu
presiden, perdana menteri, maupun yang menjadi menteri-menteri. Sebut saja
diantaranya (alm.) Benazir Butho (Pakistan), Gloria Macapagal Arroyo (Filiphina)
dan Megawati Soekarno Puteri (Indonesia). Tanpa
bermaksud mengangkat nama Megawati pada iklim politik yang mulai panas menuju
pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009 dan terlepas dari fakta bahwa
Megawati belum mencatat prestasi yang luar biasa sebagai pemimpin Namun
Indonesia telah memberi kesempatan pada perempuan untuk memimpin.
Nama-nama
ini belum terhitung perempuan yang menduduki jabatan penting di cabinet,
legislative maupun organisasi social kemasyarakatan.
Perempuan jawa adalah sosok
perempuan yang punya keberanian besar
menjalani proses kehidupan. Dalam artian tak takut menghadapi segala
penderitaan dan tantangan hidup. Sebab itulah dalam tulisan ini saya mencoba
menguraikan bagaimana perempuan jawa berkiprah dan perempuan jawa sebagai representasi
perempuan timur.
Kepemimpinan Perempuan
Amerika yang dianggap sebagai
"Negara percontohan" demokratisasi di dunia, belum pernah satu pun
menempatkan perempuan sebagai presden (pemimpin) Negara Paman Sam tersebut.
Ini berbeda dengan
Negara-negara (berkembang) yang justru lebih menghormati harkat dan martabat
perempuan, dengan memberikan kesempatan yang sama dalam kepemimpinan.
Indonesia pernah seorang presiden
berjenis kelamin perempuan, yaitu Megawati
Soekarno Puteri. Jauh sebelum Megawati, ada RA Kartini yang menjadi ikon
feminis modern di Indonesia.
Di Pakistan, (alm.) Benazir
Butho -meski hidupnya berakhir dengan tragis karena ditembak oleh pembunuh
gelap- namun pernah menempatkan wanita memegang kendali pemerintahan di negeri
tersebut.
Hal
sama terjadi di Filiphina. Dimana Gloria Macapagal Arroyo, alumnus Harvard
University ini, mampu menyita perhatian public di sana, hingga akhirnya dia pun
dipercaya menjadi pemimpin Negara.
Yang
ingin penulis sampaikan di sini adalah, bahwa perempuan itu bila diberi
kesempatan yang sama dengan laki-laki, bisa berperan sebagaimana kaum Adam
tersebut.
Artinya,
bahwa kesetaraan gender yang kita gembar-gemborkan selama ini, sudah mencapai
pada aras yang cukup menggembirakan. Yang perlu dipertanykana justru Negara
semacam Amerika Serikat. Di mana di alam demokrasi modern seperti sekarang ini,
belum pernah satu pemimpin perempuan lahir di sana.
Perempuan
Jawa
Melihat
fenomena perempuan Jawa yang merupakan masyarakat Timur, adalah hal yang sangat
menarik. Satu sisi, perempuan Jawa sering dianggap tidak berdaya. Padahal di
sisi lain, perempuan Jawa mempunyai peranan yang tak terperikan dalam
kepemimpinan, tidak hanya dalam realitas masyarakat modern sekarang ini, bahkan
jauh sebelum Indonesia menjadi Negara merdeka.
Perempuan
Jawa yang sering disebut kanca wingking dalam tradisi budaya Jawa, dimana
sebutan tersebut memiliki makna negative, yakni ketidakberdayaan, tetapi perempuan tertulis dalam tinta emas dalam
sejarah baik pada zaman Majapahit maupun
Mataram.
Anehnya,
selama ini masyarakat masih memandang wajah perempuan jawa dengan wajah ketertindasan.
Kaum feminis umumnya melihat kultur Jawa tidak memberi ruang kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan.
Sementara
dunia Barat, sekalipun masih mendapat mendapat protes dari kaum feminis, tetapi
dianggap jauh lebih toleran dan memberi posisi yang baik bagi perempuannya.
Benarkah
Barat lebih memberi posisi setara pada perempuan, atau sebenarnya perempuan
sengaja dikondisikan untuk bekerja, dimana
dalam revolusi industri, untuk menekan modal karena upah wanita lebih
murah. Jika
melihat relasi kuasa, perempuan melayu (dalam konteks ini Asia Tenggara) tak
terkecuali Jawa, terlihat bahwa kekuasaan bisa lahir dari ketakberdayaan.
Teori
kontradiktif dikemukakan Foucault. Di mana dalam pandangannya, di dalam teori fisika
juga dapat ditemukan teori metafisika, pun dalam puisi, dapat ditemukan dari rumus-rumus matematika.Artinya,
sesuatu itu bisa dihasilkan dari sesuatu yang kontradiktif. Dan realitas
berbicara, di mana dalam kultur Jawa, sebagaimana riset yang dilakukan Ardhian Novianto
dan christina Handayani
terhadap beberapa desa di Gunung Kidul, Yogyakarta, sebagaimana tertulis dalam buku
yang diberi titel "Kuasa Wanita Jawa."
Dalam
pandangan kedua peneliti tersebut, perempuan Jawa tidak perlu menjadi maskulin
untuk mendapatkan kekuasaan. Ia justru harus memanfaatkan watak feminis yang
melekat padanya. Kita
bisa membuktikannya dengan melihat realitas terdekat, bahkan di rumah kita
sendiri dengan melihat sosok Ibu, yang merupakan repesentasi perempuan yang
berperan nyata di area domestic sekaligus publik.
Banyaknya
ibu-ibu yang berdagang di pasar atau membuka warung di rumah, yang menegaskan
bahwa ia telah berperan dalam kegiatan perekonomian, yang tentu saja telah
berperan di area publik karenanya. Inilah
yang dimaksud Diplomasi perempuan Jawa. Di mana dengan kekuatan akal-pikiran
serta tenaganya, perempuan mencari solusi atas problem-problem yang ada. Sebuah
pekerjaan yang maha berat. Karena selain itu, para perempuan masih memiliki
beban menjaga anak dan "mengabdi" kepada suaminya.
Sebagai
seorang ibu, perempuan Jawa bukanlah sosok yang ambisius untuk mendapatkan
kedudukan public tertentu. Melainkan ia memposisikan diri sebagai support untuk
keberhasilan sang suami.
Mengedepankan
rasa dan bukan emosi dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, juga merupakan
kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan seorang laki-laki. Ini sekaligus menjadi penegas, bahwa perempuan memiliki kecerdasan dan
bisa mengelola sebuah persoalan dengan pikiran (kecerdasan) dan rasa tersebut.
Dengan berbagai hal di atas, rasanya tidak sesuatu yang berlebihan jika
dikatakan bahwa perempuian Jawa adalah perempuan dengan segenap kelebihan yang
harus diapresiasi karenanya. Bukankah demikian ?
Semarang, 31
Maret 2009
Tulisan ini ditulis saat penulis baru mulai tertarik dg isu perempuan dan belum sampai pada kematangan berfikir tentang feminisme
BalasHapusTulisan ini ditulis saat penulis baru mulai tertarik dg isu perempuan dan belum sampai pada kematangan berfikir tentang feminisme
BalasHapus